Trend De-Influencing, Bikin Business Owner Gonjang-ganjing!

Trend De-Influencing, Bikin Business Owner Gonjang-ganjing!

Posted by Fullstop Indonesia on 11 March 2023

Akhir-akhir ini, trend De-Influencing menjadi viral di TikTok. Trend yang berlawanan dengan makna “Influence” (memengaruhi) ini menjadi perhatian lebih. Bagaimana tidak, De-Influence yang dilakukan para influencer di TikTok ini bertolak belakang dengan konten-konten yang kita konsumsi tiap harinya – alias full endorsement. Di sini, para tokoh Trend De-Influencing seolah seperti mengajak followersnya untuk “tidak menggunakan atau membeli” produk tertentu alih-alih mempromosikannya.

Mungkin, jika mereka melakukannya dalam sebuah konten tips tanpa membawa produk tertentu, trend ini bukanlah sebuah masalah karena hakikatnya hanya berbentuk tips supaya tidak compulsive buying saja. Tapi… bagaimana jadinya kalau Key Opinion Leader (KOL) tersebut membawa-bawa nama brand sebagai objek konten De-Influencing yang dilakukan?

Coba deh, posisikan dirimu sebagai family business owner atau pemilik UMKM dari bisnis yang tersebut mereknya di video tersebut. Kira-kira, bagaimana perasaan teman-teman?

Khawatir?

Marah?

Kecewa?

Well, wajar banget sih jika sebagai business owner, kita akan was-was melihat maraknya trend seperti De-Influencing ini. Tanpa ada Trend De-Influencing saja, kalau ada influencer yang memberikan review netral atau cenderung kurang baik terhadap brand kita, pasti kita akan gonjang ganjing. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sales akan merosot. Apalagi kalau kita sudah bayar mahal-mahal untuk dipromosikan. Eh nyatanya malah direview “JANGAN BELI PRODUK INI” supaya kontennya viral karena si influencer ikut-ikutan trend De-Influencing. Kalau se-ekstrim itu, tentunya akan ada banyak bisnis yang melayangkan bendera putih. Benar atau tidak?

Mengapa Tiba-tiba Trend De-Influencing Muncul?

Ngapain sih aneh-aneh bikin trend de-influencing segala?

Apakah ini gimmick marketing belaka?

Well, kalau dilihat dari sisi positifnya, penyebab utama munculnya trend ini tidak lain tidak bukan adalah kebiasaan konsumtif kita sendiri. Gara-gara masyarakat jadi konsumtif, kompulsif, dan mudah digiring opininya untuk membeli sebuah produk dari sebuah konten digital, pekerjaan seorang influencer pun kini menjadi sesuatu hal yang lumrah. Melihat kesempatan ini, family business owner dan pemilik UMKM pun tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan influencer sebagai marketing strategy dan brand activation untuk menggenjot penjualan mereka. Win-win solution, kan? Business owner bisa mendapatkan awareness bahkan conversion. Sedangkan influencer mendapatkan produk gratis sekaligus influencer fee yang nominalnya bisa sangat tinggi.

Ekosistem digital ini tampak begitu normal sekarang, tapi memang bila dibiarkan, lama-lama menjadi tidak sehat. WHY? Karena influencer yang awalnya berfungsi sebagai key opinion leader untuk memberikan insight-insight jujur tentang sebuah produk, kini fungsinya ganti menjadi sebuah marketing tools atau promotor.

Inilah salah satu alasan kenapa Trend De-Influencing pertama kali muncul.

Kini, ada cukup banyak influencer yang mempromosikan sebuah brand tanpa benar-benar mencoba menggunakannya. Alias review bohongan. Dan persuasi yang dilakukan sangatlah berlebihan – apa saja dianggap nomer 1 atau yang terbaik.

Namun, apakah marketing strategy seperti termasuk ethical?

Apakah brand activation seperti yang biasa kita lakukan ini efektif?

Well, sejujurnya, tidak 100% efektif. Business owner mungkin senang-senang aja produknya dipuji selangit, apalagi bila pujian itu dilayangkan oleh KOL dengan followers yang besar. Tapi, pernahkah kamu berpikir bagaimana dampak jangka panjangnya kalau viral marketing ini tidak diiringi dengan produk yang benar-benar bagus (alias bikin audience kecewa atau terbohongi)?

Dan pernahkah kamu berpikir bahwa sebenarnya kredibilitas seorang influencer itu tidak bisa diukur dari jumlah followers saja?

Nah ini nih yang perlu digarisbawahi, teman-teman. Sebagai creative agency dan social media management agency, FULLSTOP Branding Agency Indonesia ingin membagikan sedikit tips untuk teman-teman sekalian, khususnya para family business owner atau pemilik UMKM.

Pertama, alih-alih bekerja sama dengan influencer dengan followers terbanyak, carilah influencer yang mendapatkan kepercayaan oleh audience. Kepercayaan di sini bisa dinilai dari banyak hal, seperti engagement pada social media, interaksi offline, dan persepsi media massa terhadap influencer tersebut. Percaya deh, followers memang penting, tapi bukanlah segalanya. Influencer dengan follower jutaan tidak menjamin kesuksesan brand activation kalau tidak PAS dengan strategi yang dijalankan. Psst… by the way, marketing strategy ini FULLSTOP lakukan untuk para client termasuk FUKUMI dan WIZZMIE lho.

Kedua, tonton video-video lama influencer tersebut supaya teman-teman bisa tahu seberapa kredibel review-review yang diberikan. Dan sebaiknya teman-teman breakdown kembali kredibilitas talent Influencer yang akan dipilih. Jika memang seorang selebgram atau seleb TikTok selalu mereview sebuah produk tanpa bukti otentik dan sering memberikan pujian pada brand tersebut, maka hal ini sudah melewati koridor dari etika bisnis. Apalagi jika salah satu di antara mereka tidak punya persyaratan tertentu untuk menerima sebuah produk dipublikasikan lewat akunnya. Oleh karena itu, nilai-nilai jujur dan kredibilitas tetap harus dipertimbangkan, yah. Giring audience anda bersama dengan KOL/Influencer yang kredibilitas juga profilenya (tidak hanya jumlah followersnya). Hati-hati, karena hal-hal seperti ini akan berbahaya secara jangka panjang kalau tidak diperhatikan dengan seksama.

Jangan Menjelekkan, Cukup Review dengan Jujur Saja

Kalau teman-teman tanya, Trend De-Influencing ini bukannya termasuk pencemaran nama baik, ya?

Hmm, yuk kita intip bagaimana hal ini diklasifikasikan pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sesuai dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:

“Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Pasal 433 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Dan Pasal Pasal 433 ayat (3) UU KUHP juga menyatakan bahwa:

“Perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 433 ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”

Menurut teman-teman gimana nih?

Apakah De-Influencing termasuk pencemaran nama baik?

Well, terlepas apakah jawabannya iya atau tidak, hanya pengacara dan orang-orang hukum yang tahu, hehehe. Tapi, di artikel ini, FULLSTOP Branding Agency Indonesia hanya ingin menekankan 1 poin saja, yaitu pentingnya KONTEKS.

Perhatikan konten dan konteks yang disampaikan oleh seorang KOL/Influencers. Mereka yang memberikan review jujur apa adanya, tidak menggiring opini agar mencemarkan nama baik, maka hal ini masih dapat dikategorikan sebagai hak konsumen untuk menilai / mereview sebuah produk. Namun jika di dalamnya terdapat aktivitas yang dimaksud dalam Pasal 433 ayat 1 dan 2 KUHP (penjelasan di paragraf sebelumnya), misal seperti dengan sengaja menjelek-jelekkan brand ketika ikut-ikutan Trend De-Influencing yang ekstrim, maka dapat dikatakan seseorang tersebut melakukan tindakan pencemaran nama baik.

Pernah lihat Channel YouTubenya Raditya Dika?

Kalau iya, pernah nonton beberapa konten saat ia mereview beberapa brand dengan produk yang sama, lalu ia memberikan review jujur?

Apakah ada yang protes? Nggak ada, kan?

Nah seperti itulah seharusnya para influencer bekerja. Bukan menjelekkan, tapi review dengan jujur saja tanpa menjatuhkan brand atau bisnis lain.

Say Yes to Ethical Marketing

De-Influencing kalau dalam konteks menjelek-jelekkan brand salah.

Overpromise alias mengagung-agungkan produk tanpa adanya ketulusan juga salah.

Intinya satu, cukup lakukan marketing yang etis saja. Alias jujur dan apa adanya.

Influencer marketing memang masih perlu dilakukan, karena merekalah penggiring opini publik. Apalagi kalau KOL yang dipilih memang memiliki kredibilitas dan tingkat kepercayaan yang tinggi. Tapi, seperti yang FULLSTOP Branding Agency Indonesia mention di awal, harus hati-hati dalam memilih KOL. Jangan yang terlalu blak-blakan cenderung negatif. Jangan pilih yang apa-apa kecap nomor 1. Pilihlah seseorang yang jujur, kredibel, dan bisa dipegang kata-katanya. And trust us, your marketing strategy will definitely work effectively. Lagi pula, kalau produk itu memang bagus, berkualitas, dan dijalankan dengan etis, buat apa takut dengan review jujur, ya kan?

So, percaya diri aja dengan bisnismu, dengan produkmu, dengan branding-mu.

Say YES to ethical marketing, dan dijamin deh, your business will always grow.

Back To List Blog