Waspada! Apakah Ada Hoax dalam Bahasa Marketing Bisnis Anda?

Waspada! Apakah Ada Hoax dalam Bahasa Marketing Bisnis Anda?

Posted by Fullstop Indonesia on 18 February 2023

Semakin berkembang teknologi, kita semakin riskan juga untuk menjadi sasaran hoax atau tertipu karena hoax. Hayooo, pernah atau nggak teman-teman menerima sebuah iklan brand besar dan setelah hampir check-out ternyata iklan tersebut hoax? Misalnya nih, teman-teman menemukan iklan pelangsing dengan copywriting yang overpromise – tubuh LANGSING dalam 1 HARI setelah minum ini. Eh tapi setelah dipakai, ternyata hoax. Atau mungkin, teman-teman menemukan sebuah trend yang dimulai oleh sebuah brand, yang mana brand tersebut memperkenalkan sebuah produk pelangsing yang dikemas sedemikian rupa sehingga teman-teman percaya bahwa produk mereka itu sehat – padahal nyatanya tidak.

Well, sadar tidak sadar, pasti pernah deh sesekali atau dua kali menemukan iklan seperti ini. Ya, begitulah perkembangan hoax yang bermula dari informasi hingga dapat menjadi riskan untuk sebuah branding strategy atau marketing strategy.

Apa Sih Hoax Itu?

Hoax berasal dari kata Hocus dari mantra Hocus Procus, yang merupakan frasa yang biasanya diucapkan pesulap “Bim Salabim!”. Hoax sendiri dalam KBBI disebut hoaks (memiliki akhiran ‘ks’ karena merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa asing) yang berarti informasi bohong. Dalam sejarahnya, hoax sebenarnya sudah dikenal sejak abad ke-19. Dan hoax yang paling booming di tahun 2000-an berupa isu akan adanya asteroid yang menghantam bumi dan akan mengakibatkan kiamat di tahun 2012. Hal tersebut menjadi berita hoax paling heboh dan seperti menjadi persiapan manusia untuk menghadapi akhir zaman.

Menurut teman-teman sekalian, apa saja yang memicu hoax bisa merajalela di muka bumi ini?

Mungkin, sebagian dari kalian akan bilang teknologi atau media sosial.

Sebagian dari kalian mungkin akan bilang rendahnya literasi atau edukasi.

Dan sebagian mungkin akan bilang karena fear factor.

Well, semuanya benar. Tidak ada yang salah. Dari media sosial, berita apa saja bisa dengan cepat menyebar luas ke mana saja untuk siapa saja tanpa filter. Rendahnya literasi juga menyebabkan masyarakat terbiasa tidak membaca suatu hal dengan seksama sebelum mencapai sebuah keputusan. Dan adanya fear factor alias FOMO yang membuat masyarakat lebih gampang ikut-ikutan opini mayoritas. Dan kalau dipikir-pikir lagi, algoritma media sosial sekarang – yang menonjolkan hal-hal “terpanas” – menyebabkan hoax makin merajalela.

Begitu pula dengan hoax dalam berbisnis atau bahasa marketing.

Hoax dalam artian “menjanjikan lebih” pada target audience.

Hoax dalam artian misleading.

Hoax dalam artian “membohongi” alam bawah sadar target audience untuk segera melakukan conversion.

Yap, tidak sedikit brand-brand baik lokal maupun internasional yang memanfaatkan “bahasa hoaks” dalam marketing strategy yang dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari target audience.

Apakah marketing strategy ini ethical?

Well, mungkin dari kalian akan jawab tidak apa-apa karena namanya orang juga “jualan”. Tapi, FULLSTOP Branding Agency Indonesia yang telah ada di dunia creative agency selama 10 tahun lebih, berani bilang kalau marketing strategy ini sangat TIDAK ETIS.

Memang, harus ada cara untuk menarik target audience, apalagi kini dengan adanya media sosial yang mana kita bisa menjangkau ratusan juta pengguna internet. Namun, bukan hoax marketing jawabannya. Note untuk teman-teman family business owner, etika bisnis ini penting sekali untuk teman-teman kenali dan lakukan saat menjalankan usaha apa pun. Karena jika tidak, jangan harap brand atau bisnis yang dijalankan bisa langgeng. Bukannya FULLSTOP memberi ancaman nih ya. Tapi sebelum terjadi sesuatu yang bisa mencoreng nama baik brand atau family business teman-teman, ada baiknya mulai mengimplementasikan ethical branding and marketing dalam brand activation dan marketing strategy yang dilakukan. Prinsip kejujuran, otonomi, saling menguntungkan, integritas, empati, dan keadilan adalah nilai-nilai penting yang harus teman-teman junjung tinggi saat menjalankan bisnis – baik itu bisnis kecil-kecilan UMKM, family business, atau pun korporasi raksasa dunia.

Dan jangan salah. Dalam perjalanan berbisnis, akan ada banyak sekali godaan untuk melakukan hal-hal (salah satunya marketing strategy) yang di luar etika bisnis di atas. Jadi, teman-teman sekalian, khususnya para family business owner, harus super hati-hati dan mawas diri.

Untuk membantu teman-teman tetap menjunjung tinggi integritas dalam menjalankan bisnis, hari ini FULLSTOP Branding Agency Indonesia akan sharing detail-detail mengenai ethical branding dan marketing dalam strategi bisnis secara general. Yuk simak!

Hoax dalam Branding Strategy

Ketika melakukan brand activation atau brand awareness, maka saat itulah teman-teman akan mengenalkan bisnis teman-teman sebagai karakter (sebuah brand). Identitas atau brand persona yang ditunjukkan melalui brand activation inilah yang akan melekat dalam benak audience. Ibarat persepsi audience tentang brand, dibentuk dengan brand persona ini. Nah, oleh karena itu, penting dalam hal ini untuk melakukan branding tanpa hoax. Ibarat orang pacaran. Harus jujur dan transparan dengan jati diri, tanpa perlu mem-branding yang tidak-tidak sampai menjadi hoax.

Contohnya sudah FULLSTOP mention di awal artikel ini yah, teman-teman. Copywriting yang clickbait memang akan memancing perhatian target market teman-teman. Tapi, kalau tidak ada data pendukungnya, maka sama saja claim atau brand persona dari aktivasi ini adalah hoax yang menyebabkan misperception.

Tanpa perlu ada claiming yang over-the-top, sebenarnya bisnis teman-teman bisa tetap sukses kok. Asalkan dilakukan dengan brand activation dan branding strategy yang tepat, pasti bisnisnya bisa sukses juga. Kita lihat saja Indomie. Tanpa ada overclaim pada jargon marketing-nya, Indomie masih bisa menduduki peringkat pertama untuk category product serupa. Dari branding strategy Indomie ini, kita bisa belajar bahwa penting untuk mengenali karakter brand atau bisnis. Baru setelah itu, bisa kita tuliskan jargon marketing yang jujur tapi tetap menarik. And one more thing, konsisten.

FULLSTOP Branding Agency Indonesia juga ada satu contoh case study nih, mumpung masih fresh banget. Salah satu client FULLSTOP yang bernama PRO EM-1 adalah produk probiotik multi strain yang dibuat dengan teknologi asal Jepang, tapi diproduksi secara lokal. Sebenarnya, ketika FULLSTOP melakukan branding research, kami menemukan bahwa sebenarnya PRO EM-1 memang benar adalah probiotik yang nomor 1 se-Indonesia, karena tidak ada probiotik lain yang memiliki kandungan multistrain sebanyak brand ini. Namun, alih-alih menggunakan bahasa marketing yang terlalu mainstream seperti “No. 1”, FULLSTOP sebagai creative agency dan brand consultant PRO-EM 1 membuatkan kemasan baru dengan highlight pada “Japan’s EM Technology”. Mulai dari tambahan tulisan Jepang, memperkenalkan orang di balik PRO EM-1 dari Jepang, dan menceritakan perjalanan PRO EM-1 secara apa adanya.

Sebelum kita lanjut ke topik bahasan berikutnya, ada satu brain teaser nih buat teman-teman semua.

Teman-teman pasti sering banget dengar jargon marketing “Kecap No. 1 se-Indonesia” dan semua kecap menyebut brand-nya demikian. Kalau kasusnya seperti ini, apakah bahasa marketing “Kecap No. 1” adalah sebuah hoax?

Hoax dalam Marketing Strategy

Okay next, kita sekarang terjun ke bahasa marketing itu sendiri.

Branding sudah aman dari hoax. Nah sekarang, PR-nya adalah memastikan bahasa marketing yang digunakan tanpa hoax juga.

Langsung aja kita ambil contoh client FULLSTOP Branding Agency Indonesia yang sama, yaitu PRO EM-1. Dalam mengomunikasikan manfaat PRO EM-1, FULLSTOP tidak mengambil jalan “bikin kamu cepat langsing” atau claiming-claiming serupa. Namun, sebagai social media agency yang waspada hoax, FULLSTOP memberikan edukasi-edukasi seputar maag, gerd, dan masalah-masalah lain yang menjadi topik hangat di antara masyarakat zaman sekarang. Soft-selling ini diselingi dengan perkenalan brand PRO EM-1. Sebenarnya, bisa aja FULLSTOP membuat overclaim yang aneh-aneh seperti “Sembuh Maag dalam Seminggu” atau bahasa marketing lainnya. But NO. Setelah riset dan mempelajari produk secara mendalam, FULLSTOP paham bahwa penyakit seperti maag dan gerd derajatnya berbeda-beda, sehingga mustahil untuk menyamakan seberapa cepat PRO EM-1 bisa mengobati target audience. Oleh karena itu, dipilihlah jalan yang paling jujur tapi tetap menarik orang-orang untuk mencoba produknya.

Mungkin, teman-teman family business owner akan bertanya,

“Lho kalo memang beneran ada yang bisa sembuh dalam 7 hari, kenapa nggak dipake aja sebagai marketing strategy?”

Well, sekali lagi, kita manusia tidak ada yang sama. Dan yang kedua, boleh saja kok menggunakan fakta ini untuk marketing, kan namanya testimoni. Asalkan testimoni seperti ini tidak digaungkan berkali-kali yang akan berujung pada overclaim dan misleading para target audience.

Cara Agar Tidak Melakukan Hoax Marketing

So, gimana sih caranya supaya Anda tidak melakukan Hoax Marketing?

Kunci pertamanya ada pada, “Integritas”

Mau dalam berbisnis, dalam berteman, dalam berkeluarga, basically semua aspek dalam kehidupan, butuh yang namanya integritas. Value ini harus benar-benar dijunjung tinggi supaya kita tidak jatuh ke jurang hoax marketing. Memang, dengan menjadi integritas, mungkin brand tidak akan cepat viral seperti bisnis-bisnis lain yang claiming sana-sini. Tapi percaya deh, strategi sembrono seperti ini justru adalah boomerang karena akan menjatuhkan brand itu sendiri. Sedangkan integritas, walaupun memang harus didukung dengan konsistensi, akan membangun brand teman-teman menjadi bisnis yang trustworthy dan long-lasting.

Kedua, “Lebih Berhati-Hati”

Penting banget nih, terutama untuk teman-teman family business owner yang menjalankan social media management sendiri. Terkadang, kita terlena dengan betapa bagusnya produk kita, sampai-sampai kita tidak sengaja overclaim ketika mempromosikan produk tersebut di social media. Well, sekali dua kali memang tidak masalah. Tapi kalau brand sudah besar dan ada kompetitor yang sirik, overclaim yang “hoax” ini akan menjadi senjata makan tuan. Oleh karena itu, teman-teman harus lebih berhati-hati juga saat melakukan promosi. Perhatikan euforia target market Anda terhadap apa yang akan Anda tawarkan. Dengan memperhatikan hal ini, FULLSTOP rasa teman-teman akan lebih berhati-hati dan bijak sebelum membuat konten (menentukan copywriting dan visualnya).

Perhatikan feedback yang Anda terima sebelum menawarkan atau boost a campaign. Dan selalu bercerminlah sebelum konten atau apa pun materi marketing itu sampai ke tangan publik.

Ketiga, “Siapkan Senjata Pendukung”

Poin terakhir ini bisa teman-teman lakukan dengan mengukur Analisa SWOT bisnis atau brand Anda. Contohnya, teman-teman memakai tagline “Roti Rendah Kalori” atau “Roti Diet”. Claim ini tentunya harus didukung juga dengan test kandungan zat gizi dari laboratorium. Atau teman-teman juga bisa share kandungan nutrisinya menjadi konten yang menarik.

Intinya, jika Anda sudah memancing audience jangan lupa juga untuk tetap menyiapkan senjata pendukung berupa bukti otentik. Sama halnya saat teman-teman UMKM atau family business owner masih merintis sebuah bisnis makanan. Perkuat trust target market dengan menyertakan minimal P-IRT yang telah terdaftar. Hal ini kadang menjadi poin yang disepelekan, padahal penting saat Anda menjalani bisnis dalam jangka waktu yang panjang. Hal-hal seperti ini juga jangan sampai kelolosan hoax. Lakukan sesuai prosedur dan olah datanya menjadi content pillar yang tidak perlu diragukan lagi kepercayaannya.

Jadi bagaimana teman-teman?

Apakah teman-teman pernah mengaplikasikan hoax marketing? Semoga belum dan tidak akan pernah, ya.

Yuk, hati-hati terhadap hoax. Karena ternyata hoax bisa jadi boomerang bagi bisnis Anda. Semoga 2023 menjadi klimaks profit tanpa harus jadi pelaku hoax marketing yah. Amin.

Back To List Blog