Tak Goyah Meski Diterpa Skandal: 3 Pelajaran Branding Berharga dari FIFA
Kalian dukung siapa nih untuk final piala dunia besok?
Nggak kerasa ya, kita sudah di penghujung ajang olahraga bergengsi ini. Padahal serasa baru saja dimulai kemarin. Ada cukup banyak “drama”, momen-momen menegangkan, hasil yang tak terbayangkan, sampai kemenangan yang tak terduga. Apalagi, piala dunia ini bertepatan dengan melonggarnya peraturan social distancing sehingga penggemar sepak bola dari seluruh dunia pun berbondong-bondong datang ke Qatar untuk mendukung tim favoritnya. Yap, singkatnya, FIFA World Cup 2022 ini terlaksana dengan lancar, sukses, pastinya cuan~
Nah, coba sekalian kamu tebak deh!
Berapa kira-kira penghasilan yang didapatkan FIFA ya?
Well, you won’t believe this. Dari tahun 2015 sampai 2018, mereka mendapatkan $600 juta atau lebih dari 9 triliun rupiah!! Gila atau gila banget nih guys? This is a fact, seperti yang ditulis oleh Reiff (2022) di Investopedia. FIFA bisa mendapatkan income sebesar ini dari imbas kontrak licensing, royalty payment, dan perjanjian serupa, yang mana brand-brand eksternal membayar FIFA atas pinjaman logo atau nama brand-nya. Demi branding strategy dan aliansi dengan FIFA, brand-brand eksternal ini tampaknya tidak segan ambil licensing logo FIFA meski harganya mahal sekalipun. Karena tidak dapat dipungkiri, official partnership dengan FIFA tentunya sangat berpengaruh pada brand activation dan marketing strategy. Beberapa sumber pendapatan FIFA lainnya antara lain adalah hak broadcast, merchandise, ticket sales, dan sponsor.
Dari segi bisnis, memang bagus ya strategi FIFA untuk menghasilkan cuan. Namun, apakah business strategy ini bagus untuk menjaga image FIFA as a brand?
Hmm, sepertinya beberapa komunitas berargumen sebaliknya.
Meski olahraga sepak bola adalah cabang terfavorit hampir semua orang di dunia, brand FIFA sendiri memiliki reputasi dan image yang buruk karena dinilai terlalu komersial. Selain fee untuk licensing dan marketing yang bombastis, FIFA juga mengakali strategi bisnisnya dengan mewajibkan negara pelaksana World Cup untuk menanggung semua biaya yang dibutuhkan. Mulai dari stadium berstandar internasional sampai infrastruktur lainnya, semua dibebankan ke negara host. Dan seperti yang bisa kamu tebak, negara memiliki uang sebanyak itu tentunya dari kantong masyarakat alias pajak. Pada piala dunia 2014 yang diselenggarakan di Brazil, turnamen dunia ini diprotes oleh mayoritas masyarakat Brazil karena uang mereka justru dipakai untuk pembangunan stadium alih-alih rumah sakit atau sekolah yang sangat dibutuhkan oleh mereka. Isu ini semakin panas dengan adanya fakta bahwa pajak untuk FIFA terlalu kecil. Ya… sebenarnya FIFA tidak melanggar hukum sama sekali sih, karena notabene mereka adalah organisasi non-profit. Tapi tetap saja, fakta ini membuat warga kesal karena jumlah pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan income yang masuk ke kantong federasi sepak bola dunia ini.
Puncak kebencian terhadap FIFA ini terjadi ketika ditemukan adanya korupsi di dalam organisasi tersebut.
Di tahun 2015, Departemen Kehakiman Amerika Serikat menangkap sejumlah jajaran pimpinan FIFA atas tuduhan racketeering (pemerasan uang), penyuapan, pencucian uang, dan penipuan (Miller & Barbash, 2015). Terdapat 47 tuduhan di dalam kasus ini. Salah satunya adalah penyuapan dalam pemilihan host piala dunia 2010 di Afrika Selatan serta pemilihan presiden FIFA di tahun berikutnya. Dan di waktu yang sama, seorang jaksa di Switzerland juga melakukan sidang atas pencucian uang berhubungan dengan pemilihan host piala dunia 2018 di Rusia dan piala dunia 2022 di Qatar. Tuduhan-tuduhan terkait tindakan kriminal ini sebenarnya sudah sering lalu lalang menimpa FIFA. Namun, baru di tahun 2015 terjadi penangkapan yang tentunya mengagetkan jagad raya.
Lantas, apakah FIFA kembali pulih setelah bencana ini?
Well, as you can see, FIFA bangkit kembali. Lebih tepatnya, brand FIFA sudah terlalu kuat dan berpengaruh ke keberlangsungan sepak bola dunia hingga tidak mungkin brand tersebut bisa runtuh semalam. Namun tetap saja, diperlukan upaya penanggulangan. Mau gimana-gimana, kalau tidak ada yang mempertahankan brand image FIFA, lama-kelamaan reputasinya akan semakin anjlok. Oleh karena itu, bahkan hingga tahun 2021, FIFA secara konsisten menyampaikan bagaimana mereka mengembalikan uang yang dikorupsi untuk pembangunan sepak bola di dunia (Dunbar, 2021). Inilah contoh nyata bagaimana sebuah brand bisa tidak tergoyahkan meski terkena skandal besar sekalipun. Selain karena sudah berdiri sejak lama, FIFA diuntungkan karena jumlah fans sepak bola jauh lebih banyak daripada orang-orang yang membaca berita tentang kasus korupsi ini.
Dari skandal yang menimpa brand FIFA ini, tampaknya ada sedikit pelajaran yang bisa dipetik, yaitu:
Jujur dan berintegritas
Pandai aja nggak cukup kalau kamu mau brand ini berjalan long-term. Orang-orang di dalamnya harus memiliki integritas sehingga brand bisa membangun kepercayaan customer maupun partner. Dan percaya deh, efek dari branding strategy seperti ini dampaknya besar banget. Entah itu UMKM, family business, korporasi, bahkan branding agency sekalipun, kalau dikenal jujur dan fair, siapa pun pasti mau bekerja dengan brand lagi, kan? Kalaupun terjadi masalah, kita harus siap untuk mengakui kesalahan, menerima konsekuensi, dan melakukan penanggulangan atas isu tersebut.
Nah, apalagi kalau bisnis-mu adalah sebuah organisasi non-profit seperti FIFA. Kamu harus bekerja ekstra supaya brand bisa lebih dipercaya. Memang pemasukan tetap dibutuhkan untuk menjalankan misi organisasi, tapi approach yang dilakukan tidak boleh terlalu hardsell dan komersial. Brand harus memiliki citra yang bersih dan terbuka, apalagi soal pemasukan dan pengeluaran. Hanya dengan cara inilah brand bisa tetap menjaga reputasinya.
Membangun komunitas yang kuat dan supportive
Yup, mirip seperti komunitas suporter bola yang menggiring demand kegiatan-kegiatan FIFA meski diprotes sana-sini. Nah, dalam konteks business, komunitas yang dimaksud di sini adalah target audience-mu. Your main client. Kalau usahamu adalah family business di industri F&B misalnya, ya kamu harus bangun komunitas customer yang loyal. Kalau usahamu adalah creative agency seperti FULLSTOP Branding Agency Indonesia, maka komunitas yang dibangun ya family business owner yang supportive dan loyal dengan agency.
Konsisten
Sama seperti FIFA yang konsisten memperbaiki brand image setelah terkena skandal, atau seperti FIFA yang di abad ke-20 konsisten menggaungkan bagaimana programnya bisa membantu mengedepankan sepak bola dunia, brand kita pun juga harus konsisten. Konsisten dalam menjalankan branding strategy, konsisten digital marketing-nya, konsisten dengan topik atau goal yang dituju. Kalau semuanya dilakukan dengan setengah hati, baru setengah jalan sudah “mutung”, mau sebagus apapun branding strategy-nya juga tidak akan pernah sukses.
Tidak peduli brand kecil atau brand raksasa sebesar FIFA, semua brand owner wajib melakukan ketiga poin di atas kalau ingin branding strategy dan business-nya tetap berjaya.
And that’s it for today. Kita sudah sampai di penghujung artikel hari ini.
Semoga informasi yang dibaca hari ini bisa bermanfaat untuk brand activation, digital marketing, atau apapun itu business teman-teman ke depannya ya!