2023 Resesi?! Bagaimana Nasib Usaha Bisnis?
Baru aja kelar pandemi COVID-19. Eh.. sekarang kita harus mempersiapkan jiwa dan raga menerjang resesi yang dikabarkan akan melanda Indonesia tahun depan. Sekarang aja, udah banyak berita-berita PHK oleh perusahaan raksasa.
Khawatir? Pastinya. Nggak cuma kita para budak korporat, family business owner yang tajir pun juga khawatir pastinya, mengingat betapa parahnya krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Karena sebenarnya banyak lho bisnis keluarga yang terpaksa harus gulung tikar gara-gara resesi. Kalau cuma tutup secara clean slate gitu nggak masalah ya, tapi kalau sampai bangkrut dan memiliki hutang yang banyak? Kalau sampai brand yang telah dibangun bertahun-tahun lenyap sekejap? Disitulah penatnya jadi pemilik brand atau bisnis.
Pertanyaannya adalah, sudahkah anda bekerja dengan tim yang tepat? Baik tim produksi, tim finance, tim sales dan distribusi, hingga tim promosi, in-house ataupun pihak ke 3 seperti creative agency / social media management, ini waktu yang tepat untuk mengkaji ulang peranan masing-masing divisi yang ada.
Sebelum kita membahas hal tersebut, mari kita kupas kenapa sih kok resesi bisa ada?
Dan bagaimana kita, khususnya brand milik business owner, bisa survive?
Berbagai macam faktor di balik probabilitas resesi tahun 2023
Sebelum kita masuk ke bahasan penyebab resesi 2023, kita luruskan dulu makna kata “resesi”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (n.d), resesi adalah kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri).
Resesi ekonomi secara spesifik menandakan memburuknya ekonomi suatu negara dinilai berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut (Sikapiuangmu, n.d). Sebenarnya, 2 tahun lalu kita sudah melalui resesi, yakni ketika semua roda ekonomi terhenti akibat pandemi. Indonesia resmi mengalami resesi pada kuartal 3 tahun 2020 dengan PDB minus 3.49% (Fauzia, 2020).
Faktor pertama yang tampak jelas menjadi penyebab resesi adalah roda ekonomi yang macet. Bukan dari segi produksinya saja, tapi dari kemampuan purchase dari market juga. Sadar tidak sadar, kita sekarang ngerem belanja. Khususnya untuk produk yang digunakan sehari-hari, masyarakat Indonesia ada kecenderungan lebih selektif. Selektif memilih harga termurah. Selektif memilih offer terbaik agar stok bisa tahan lama tanpa perlu beli lagi. Dan hal ini diakui oleh Bank Indonesia. BI menyatakan bahwa penjualan eceran di bulan Juni 2022 ini menurun bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya (Pink, 2022). Habit belanja tidak lagi tinggi seperti dahulu kala. Apalagi, kini harga pun melonjak tinggi, membuat kita makin ngerem beli-beli barang. Dan ternyata, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah saja, lho! Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat pengereman belanja ini juga terjadi di kalangan SES A-C sebagai antisipasi harga BBM non-subsidi yang naik. Dan seperti menuangkan minyak tanah ke dalam api, kekhawatiran masyarakat akan terjadinya resesi 2023 dan berbagai penyakit baru bermunculan semakin memperparah minimnya purchasing power dan willingness dari market.
Nah, ibarat lingkaran yang tak berujung, roda ekonomi pun demikian. Menipisnya pembelian dari market mengakibatkan kemacetan dari sisi bisnis-bisnis yang bersangkutan. Penghasilan retail berkurang. Pabrik terpaksa harus mengurangi jumlah produksi. Supplier tidak bisa menghabiskan stok barangnya. Dan terjadilah krisis ekonomi dimana-mana. Alhasil pemangkasan budget pun terjadi, mulai dari PHK hingga efisiensi budget. Berapa banyak perusahaan yang mengencangkan sabuk dan memangkas jasa pihak ke3 ( termasuk creative team / branding agency ) untuk bertahan hidup? Tak terhitung!
Penyebab dari faktor pertama tadi, salah satunya adalah dari rantai ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tengah memburuk tahun 2022 ini. Negara Paman Sam dinyatakan memasuki periode resesi setelah PDB-nya minus pada kuartal pertama dan kedua (Pransuamitra, 2022). Meski kini tengah “pulih”, ada risiko double-dip recession alias “baru aja pulih, eh resesi lagi”. Salah satu sebab isu ekonomi AS ini adalah kenaikan suku bunga yang tak kunjung henti dari bank sentral AS (The Fed). Rumornya nih, mereka akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4% dalam waktu dekat ini. Dan angka ini tetap terus dinaikkan hingga, at least, awal tahun 2023. Apa dampaknya? Tentu saja bisnis di AS jadi sulit beroperasi dan menurunnya kemampuan belanja rumah tangga disana.
Kalau dari perspektif negara Indonesia, apa dampaknya? Well, mengingat AS adalah negara tujuan ekspor terbesar nomor dua, resesi AS berimplikasi pada menurunnya permintaan produk dari Indonesia. Bayangkan saja, kalau masyarakat AS sendiri tidak memiliki daya beli yang kuat, maka tidak akan ada demand barang dari market AS. Lantas, tidak ada gunanya perusahaan AS tetap memasok supply dari Indonesia, bukan? Nah, disitulah letak masalahnya bagi perekonomian negara kita. Bahkan sekarang saja, sudah ada beberapa komoditas ekspor yang menurun, seperti industri alas kaki yang mengalami penurunan sebesar 42.74% (Bella & Kusumawardhani, 2022).
Keadaan suram diperburuk dengan adanya 1 faktor pemicu tambahan. Ada yang bisa tebak isu apakah itu?
Sejak dimulainya invasi Rusia di bulan Februari lalu, harga minyak langsung melonjak, tertinggi sejak tahun 2014 (Permana, 2022). Hal ini tidak bisa terelakkan, karena Rusia sebagai pemasok minyak memegang market share sebesar 10%. Urusan minyak belum selesai, dunia juga kocar-kacir karena harga gandum yang naik lebih dari 5%. Dan kedua negara yang tengah berselisih ini adalah pemain utama dalam ekspor gandum global. Dari fakta ini, bisa disimpulkan sendiri mengapa perang Rusia-Ukraina adalah salah satu faktor resesi 2023?
Ada berbagai macam masalah yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini, sehingga tampaknya, resesi cepat atau lambat akan datang menghampiri.
Bagaimana brand bisa melalui periode ini?
Terus gimana nih… Masak bisnis yang sudah aku bangun bertahun-tahun kemungkinan besar bakal bangkrut?
Well, memang ada kemungkinan demikian, kalau branding strategy dan marketing activation yang dilakukan tidak kuat. Sooo… brand apapun itu, baik UMKM, bisnis keluarga, maupun korporasi raksasa, mulai dari sekarang harus memperkuat brand image secara konsisten. Apabila branding dilakukan dengan tepat, meski dilanda resesi sekalipun, brand akan tetap menjadi pilihan target audience, sekecil apapun nominal transaksinya. Who knows, dengan menjalankan branding yang pas, brand justru bisa mendapatkan kesempatan menjadi star brand selepas resesi. Karena kenyataannya, selalu ada saja orang kaya baru yang lahir dari resesi.
Tertarik untuk menjadi client dari #superskwad ? Contact us via email hello@fullstopindonesia.com untuk jadwalkan konsultasi brandmu pada ahlinya.
Baca : Tips hadapi resesi untuk branding agency / creative worker di sini