Social Media Insight Vs. Sales: Lebih Penting Yang Mana?
Ketika insight turun, kita pusing mikirin mengapa akun media sosial brand tidak berkembang di tangan kita.
Ketika sales menurun, kita pusing mikirin mengapa social media activation kurang berpengaruh pada penjualan.
Inilah curahan hati para digital marketer di branding agency.
Dari sisi branding dan social media activation, pasti kita ingin media sosial yang digunakan terus berkembang – baik dari sisi reach, engagement, dan utamanya, followers. Namun, tak dapat dipungkiri, penjualan adalah alasan utama mengapa sebuah brand – entah family business, UMKM, atau konglomerasi – melakukan branding strategy. Tentu saja, harapan utamanya adalah ketika grafik media sosial dan grafik penjualan bisa naik bersama-sama. Itu idealnya. Namun, tidak ada di dunia ini yang sempurna. Terkadang, skenario yang kita harapkan tidak berjalan semulus itu. Ada kalanya, grafik media sosial menunjukkan angka yang apik, tapi angka sales mengalami penurunan. Tentunya hal ini membuat para business owner ketar-ketir apalagi kalau sampai Break-Even Point (BEP) pun tidak tercapai. Di sisi lain, ada kalanya ketika angka penjualan meningkat pesat, tapi branding di media sosial tidak berjalan dengan mulus. Kalau sampai followersnya menurun, pihak brand pasti akan mempertanyakan ke agensi mengapa hal ini bisa terjadi.
“Lantas, manakah yang harus menjadi fokus kita sebagai digital marketer?”
Inilah pertanyaan besar yang harus diselesaikan oleh project manager, content planner, marketer, dan semua orang yang bekerja di branding agency atau digital marketing agency.
Nggak usah pakai lama-lama, jawabannya ada pada peranmu dalam skenario ini.
Apakah kamu social media marketer atau branding agency yang menangani social media management saja?
Apakah kamu sedang meng-handle brand development dan launching?
Apakah kamu memiliki tugas marketing dan sales?
It all depends on the Key Performance Indicator (KPI) of your role.
Yuk kita bahas satu per satu!
Untuk social media marketer atau branding agency (social media management)
Kalau kamu murni adalah social media marketer atau branding agency yang menangani social media management, fokus pekerjaannya tidak lain tidak bukan adalah media sosial.
- Memastikan akun brand meningkatkan reach di media sosial untuk menguatkan awareness terhadap brand dan product
- Mendapatkan engagement atau interaction antara brand dengan audience melalui digital activation agar target market semakin loyal dengan brand
- Menaikkan angka followers karena hal ini berarti target audience percaya pada brand, puas dengan konten dan produk yang diberikan, serta tolak ukur kesetiaan audience.
Singkatnya, itulah KPI pekerjaan seorang social media marketer atau jasa social media management di agency. Konten-konten yang dibuat pun dikemas sedemikian rupa agar mencapai 3 fokus utama tersebut. Misalnya, untuk meningkatkan awareness, dibuatlah konten-konten product knowledge. Untuk engagement, dibuatlah konten quiz, this or that, dan lain-lain. Supaya followers makin banyak, dibuatlah konten yang bisa membuat orang-orang “stay tuned” di page, seperti tips-tips, resep, dan lain sebagainya.
Namun, apakah berarti kamu tidak perlu memperdulikan sales sama sekali?
Of course not. Tidak dapat dipungkiri, social media memiliki dampak yang besar pada penjualan. Menurut Sprout Social (Cover, 2021), 78% orang cenderung akan memilih suatu brand ketimbang yang lain kalau pengalaman di media sosial dengan brand lebih menyenangkan; 55% menemukan produk atau brand baru dari media sosial; dan 68% setuju bahwa media sosial adalah ajang untuk berinteraksi dengan brand. Ini artinya, tugas dari seorang social media marketer dan content planner adalah menjamin ketiga hal ini terjadi. Caranya? Yaitu dengan pembuatan konten, caption, engagement, dan customer service yang terbaik pada target audience di platform media sosial. Perlu digaris bawahi bahwa dampak dari social media activation adalah LONG-TERM. Dengan konsistensi dan pemberian kualitas konten dan experience yang bagus, lama-kelamaan akan terbentuk sebuah brand image yang kuat beserta loyal customer-nya. Oleh karena itu, short-term goal seperti “target penjualan mencapai 50 juta saat promo 9.9” bukanlah sesuatu yang harus kamu khawatirkan. Tugas digital activation atau social media management adalah bagaimana caranya menginformasikan adanya promo ini ke audience yang relevan, di waktu yang tepat, dengan cara yang tepat – serta membangun kesetiaan mereka agar tidak memilih brand “karena hanya ada promo saja”.
Untuk branding agency yang dalam tahap brand development dan activation untuk launching
Mau dilihat dari atas, bawah, kanan, kiri, dari mana pun, definisi launching yang sukses adalah kalau brand yang notabene baru ini bisa menggaet perhatian dan rasa penasaran yang tinggi. Penilaian dari kata “perhatian” di sini bisa ditafsirkan ke berbagai KPI, misalnya:
- Followers dari 0 mencapai 10k dalam sehari
- Akun media sosial dilihat oleh 500k orang dalam sehari
- Penjualan mencapai 5,000 transaksi di hari-H opening
- Dan masih banyak lagi.
Kalau kamu perhatikan seksama, apa kesamaan antara ketiga contoh KPI di atas?
Yup! Branding agency yang bekerja di bidang brand development mengemban satu tugas tambahan, yaitu untuk membuat ledakan “keramaian” pada saat launching!
Ada beberapa kisah sukses brand development. Salah satu contohnya adalah Wizzmie (real-life example dari FULLSTOP!). Semuanya pasti pernah dengar brand mie kekinian yang viral ini, kan? Dalam hitungan hari, Wizzmie mencapai 3,000 followers dan 1,000 transaksi pada hari pertama buka. Hal ini dapat terjadi karena kolaborasi yang pas antara brand image, social media activation, opening event, dan tentunya kualitas makanan itu sendiri yang patut diacungi jempol. Social media marketing strategy dikemas agar bisa membangun hype warga Surabaya – bukan untuk menarik likes saja, tapi untuk mendorong mereka agar mau mengunjungi Wizzmie. Fokus utama pada saat pembukaan adalah memastikan restoran ramai dari pagi sampai malam, bukan di social media insight. Mengapa? Karena tidak perlu diragukan lagi, social media insight pasti naik sampai 1,000% pun bisa. Iya dong, kan sebelumnya belum pernah ada aktivitas sama sekali di akun tersebut. Wajar saja kalau tiba-tiba naik pesat. Jadi KPI pun lebih dititik beratkan pada crowd. Jumlah transaksi. Jumlah antrian. Jumlah story mention di media sosial. That’s all. Soal angka penjualan, that’s none of our concern. Itu ada di tangan operasional – bagaimana cara kasir bisa melakukan up-selling agar jumlah pembelian per customer bisa tinggi.
Sampai di sini paham kan?
Untuk kamu di bagian marketing dan sales
Need we say more?
Apabila ada kata “Sales” dalam scope of work (SOW), suka tidak suka, kita memiliki target penjualan yang harus diraih tiap waktunya.
Tidak hanya memikirkan konten media sosial dan segala statistiknya, kita pun bertanggung jawab untuk membuat sales strategy yang ampuh. Salah satunya adalah menentukan skema promosi atau diskon untuk menarik sales lebih banyak. Bisa juga dilakukan dengan cara kolaborasi (misal diskon kartu bank atau voucher code dengan KOL). Selain itu, kita pun harus memastikan landing page memiliki informasi yang cukup dan efektif untuk mendorong buying urgency. Customer service oleh admin online marketplace dan admin sales pun di bawah kontrol tim Marketing & Sales – bagaimana cara customer service bisa membuat orang berani membuat keputusan untuk purchase, membuat SOP untuk up-selling, dan lain sebagainya. Semua hal ini termasuk dalam yurisdiksi sales marketing. Kuasa yang dimiliki oleh seseorang dengan SOW Marketing & Sales tentunya lebih besar daripada agensi yang hanya menangani social media management. Oleh karena itu, tak pelak bila tanggung jawab pun lebih banyak.
Seperti quote terkenal dari film Spider-Man:
“With great power comes great responsibility”.
Baik kepala divisi Marketing & Sales maupun branding agency yang memberikan layanan brand consultancy atau business development, efisiensi kinerja bahkan melampaui social media insight dan sales. Tidak hanya sekedar insight versus sales saja, tapi keseluruhan KPI yang bersangkutan dengan pemasaran dan penjualan. Dan semuanya harus berjalan beriringan supaya sama-sama meningkat hasilnya.
Jadi, mana yang lebih penting?
Social media insight adalah patokan terhadap brand sustainability secara LONG-TERM.
Sales statistics adalah hasil yang berhasil didapatkan secara SHORT-TERM.
Kedua-duanya penting. Semuanya saling terkoneksi kok. Kalau penjualan selalu jelek bahkan menurun terus, itu tandanya social media marketing tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Kalau social media insight selalu jelek bahkan menurun terus, itu berarti ada yang salah dengan brand/produk/layanan-mu sampai-sampai orang tidak lagi peduli terhadap brand. Dan ini berdampak pada keberlangsungan brand jangka panjang. Oleh karena itu, semua yang merupakan tim dari brand tersebut harus melakukan perannya masing-masing agar social media branding dan sales pun sama-sama berjalan lancar. Okay?
Next artikel, kita akan bahas strategi digital activation ala FULLSTOP Branding Agency Indonesia agar social media insight dan sales bisa sama-sama tercapai. Stay tuned!