B2B & B2C, Apa Bisa Dijalankan Sekaligus?

B2B & B2C, Apa Bisa Dijalankan Sekaligus?

Posted by Fullstop Indonesia on 14 September 2022

Menyambung topik pembicaraan kita kemarin soal branding strategy B2B dan B2C, hari ini kita akan bahas bagaimana pemain bisnis B2B bisa melebarkan sayapnya ke ranah B2C.

Sebenarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa B2B sebenarnya membawa keuntungan berkali-kali lipat lebih besar daripada B2C. Walaupun jumlah transaksi kecil, tapi nominal yang dipertanggungjawabkan sangatlah besar. Di Korea Selatan, perbedaan profit antara B2B dengan B2C bisa mencapai 50 kali lipat! Tapi, mengapa sih beberapa pemain bisnis B2B yang notabene sudah well-established memutuskan untuk “tambah jalur” ke B2C? Well, salah satu alasannya adalah market yang semakin luas. Adanya platform e-commerce bersama dengan keuntungan-keuntungan yang diberikan menunjukkan betapa luasnya target audience pasar B2C. Pegiat UMKM, pemilik bisnis keluarga, pebisnis siapapun bisa menjaring customer sebanyak-banyaknya di mana saja dan kapan saja. Apalagi, bisnis e-commerce sedang ada di fase naik. Tentu saja pengusaha tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Selain itu, apabila brand retail tersebut sukses dan mendapat respon positif dari target audience, hal ini merefleksikan kualitas produk atau jasa yang disediakan oleh bisnis itu sendiri. Target market di B2B pun sadar tidak sadar menjadi lebih percaya akan apa yang kamu sediakan. Itulah beberapa keuntungan dari memiliki bisnis B2B dan B2C sekaligus.

Namun, ada juga nggak enaknya.

Selain tambah repot karena harus membangun bisnis baru dari nol, modal yang perlu disiapkan juga nggak kaleng-kaleng. Perlu persediaan bahan yang mumpuni, sumber daya manusia yang baru, marketing activation yang sangat bertolak belakang dengan B2B, dan lain sebagainya. Apalagi, pasar B2C tidak stabil seperti B2B. Kalau lagi viral, produk atau jasa yang disediakan bisa ramai dicari sampai operasional kewalahan. Kalau lagi tidak on-demand, produk atau jasa bisa tergeletak begitu saja. Ada banyak sekali risiko yang dihadapi oleh pemain bisnis B2C!

Totally different arena.

Totally different game.

But it’s worth it kalau memang ada tujuan yang jelas mengapa bisnismu akan merambah ke dunia retail.

Kalau kamu adalah pebisnis di ranah B2B yang sedang galau bisnismu harus dikemanakan, yuk simak dua contoh perusahaan Indonesia yang pernah bergerak di bidang B2B dan B2C sekaligus. Semoga bisa menjadi inspirasi!

FUKUMI by PT. Asia Prima Konjac

Pasti tahu nasi porang yang viral ini kan?

Itu lho, nasi yang tinggal diseduh bisa langsung disantap.

Perusahaan yang mengolah umbi porang menjadi nasi ajaib siap makan ini adalah PT. Asia Prima Konjac. Awalnya, perusahaan yang berbasis di Jawa Timur ini bermodel usaha B2B. Merekalah yang memberikan supply bahan mentah umbi porang – atau bahasa kerennya, Konjac. Fun fact, APK (singkatan dari Asia Prima Konjac) adalah produsen dan supplier konjac terbesar di Indonesia (APK, n.d). Yup, 40% umbi porang berasal dari perusahaan B2B satu ini. Sudah lama, umbi porang ini menjadi komoditas ekspor Indonesia sebagai bahan dasar shirataki dan konnyaku.

Seiring berjalannya waktu, client FULLSTOP satu ini sekarang menjadi perusahaan B2B yang juga bergerak di bidang retail melalui produknya dengan nama FUKUMI. Beberapa faktor yang mendorong keputusan ini adalah meningkatnya antusiasme masyarakat soal healthy lifestyle. Semenjak pandemi COVID-19, banyak warga Indonesia yang mulai peduli dan menerapkan pola hidup sehat. Awalnya memang untuk meningkatkan imun tubuh saja, tapi lama kelamaan, kebiasaan ini menjadi lifestyle. Makin banyak katering sehat, resep-resep sehat, apapun deh yang bisa membantu orang-orang untuk menjadi lebih healthy and fit. Salah satunya adalah nasi shirataki yang tiba-tiba naik daun dan digandrungi. Rendahnya kalori dan karbohidrat dalam nasi shirataki menjadikan menu satu ini pilihan yang pas bagi pegiat healthy lifestyle dan pejuang diet. Nah, melihat adanya trend seperti ini, tentunya Indonesia sebagai produsen umbi porang nggak boleh diam saja dong. Kenapa kita harus mengekspor bahan mentah konjac ke luar negeri lalu membelinya kembali dalam bentuk nasi shirataki? Oleh karena itu, dibentuklah business strategy yang tepat agar APK bisa mengeluarkan lini produk retail sendiri agar warga Indonesia bisa mengonsumsi nasi sehat buatan anak bangsa. Sampai-sampai, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sendiri terjun langsung ke pabrik APK untuk mendukung usaha petani Indonesia memberikan beras porang yang bermanfaat bagi warga Indonesia.

Nah, dari sini kita tahu bahwa ada market demand yang mendasari keputusan untuk merambah ke dunia B2C. Tidak hanya asal karena ingin cuan lebih banyak saja, tapi diperlukan market research yang kuat. Karena pada dasarnya, membangun bisnis B2C sama dengan memulai usaha dari nol lagi. Susah, repot, dan harus lebih banyak digital activation agar bisa benar-benar mengoptimalkan brand activation dan social media marketing.

TaniHub

Yes, it’s Indonesia's first agritech company!

Selain mendapat label perusahaan aplikasi agrikultur pertama di nusantara, TaniHub juga mencetak GMV di atas Rp1 triliun dengan pertumbuhan gross revenue sebesar 639% secara tahunan (Anestia, 2022). Menakjubkan, bukan? Sejak didirikan pada tahun 2015, TaniHub telah memberikan pelayanan praktis untuk kebutuhan fresh product (TaniHub, 2021). Sekarang, mereka menyediakan lebih dari 2000 produk segar dan bahan makanan ke banyak usaha-usaha di Indonesia. Mulai dari UMKM, warung makan kecil, horeca, B2B2C, dan pasar modern – cakupan target pasarnya luas! Dan… betul sekali apa yang kamu pikirkan sekarang, market TaniHub ini adalah lini usaha. Artinya, TaniHub menerapkan model usaha B2B!

Sebetulnya, dahulu TaniHub melayani end-customer juga, khususnya segmen rumah tangga. Namun, pada awal tahun ini, usaha jual-beli produk pangan di segmen B2C dihentikan. Hal ini adalah bagian dari strategi penajaman lini bisnis agar lebih fokus ke B2B.

Mengapa tidak dilanjutkan? Padahal kan, pada saat pandemi, transaksi produk pangan melonjak 2-3 kali lipat di sektor rumah tangga?

Yes, that’s true.

Tapi, persaingan di e-commerce agritech juga meningkat. Managing Partner Tunnelerate Ivan Arie Sustiawan menilai bahwa persaingan yang ketat ini sangat sulit dihadapi oleh platform (khususnya yang bermodal terbatas). Karena tidak ada opsi lain untuk menarik customer selain dengan cara subsidi di perang harga dan logistik. Apalagi, mayoritas penduduk Indonesia menggilai promo atau diskon. Kalau tidak bisa memberikan opsi termurah, maka sampai jumpa loyalitas, customer agar berpindah hati ke e-commerce lain yang menawarkan layanan yang sama dengan harga lebih rendah. Itu alasan pertama. Faktor kedua adalah soal market demand. Ya, memang ketika pandemi, kita tidak punya opsi lain untuk berbelanja selain dengan memanfaatkan e-commerce. Tapi, ketika pandemi sudah mereda, mayoritas penduduk Indonesia kembali ke kebiasaan pertamanya, yakni berbelanja produk segar dan bahan makanan di toko offline seperti pasar dan supermarket. Tantangan lain yang dihadapi oleh TaniHub adalah soal ekspedisi. Bagaimana mereka bisa mengirimkan produk segar agar tetap terjamin kualitasnya ketika sampai di rumah audience. Memang, untuk area Jabodetabek, online grocery store tampaknya masih ada potensi untuk dikembangkan. Tapi untuk kawasan Indonesia yang lain, sepertinya service B2C TaniHub belum bisa masuk dengan baik dikarenakan tantangan-tantangan di atas. Tak pelak bila direksi TaniHub memutuskan untuk fokus di ranah B2B yang mana supply dan demand jauh lebih stabil.

Apa yang bisa kita petik dari kedua contoh di atas?

Market research.

Baik itu ekspansi yang dilakukan FUKUMI maupun penajaman bisnis yang dilakukan TaniHub, semuanya didukung oleh market research yang kuat. Dengan adanya informasi yang memadai inilah, mereka bisa bergerak menuju ke visi bisnis utama dengan mantap, apapun itu strateginya. Jadi, kalau ditanya B2B dan B2C apakah bisa dijalankan sekaligus? Jawabannya tentu bisa, asal kamu memahami apa yang kamu lakukan.

Oleh karena itu, sedikit tips untuk pemilik bisnis B2B yang ingin mengeksplor dunia B2C, jawablah ketujuh hal di bawah ini sebelum mengambil keputusan.

  1. Apa yang membuat bisnismu berbeda daripada yang lain?
  2. Apa yang tidak kamu miliki tapi dimiliki oleh bisnis kompetitor?
  3. Bagaimana pendapat masyarakat tentang inovasi yang kamu bawa?
  4. Seberapa besar antusiasme masyarakat tentang layanan tersebut?
  5. Seberapa besar cakupan target market untuk produk atau jasa yang diberikan?
  6. Perubahan apa saja yang mungkin akan terjadi yang bisa membahayakan bisnismu?
  7. Last but not least, does your business have sufficient resources and risk management in place?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kamu bisa memperbaiki business strategy sebelum “kecemplung” di dunia B2C. Entah itu dengan memperbagus product innovation, menggenjot brand activation, memperbanyak sumber daya manusia apapun itu caranya agar pondasi bisnis kuat.  Satu lagi, branding strategy dan social media activation jangan sampai ketinggalan ya, karena brand activation B2B dan B2C sangatlah berbeda. Diperlukan brand development yang simple dan menarik, social media activation yang community-centric dan efektif, agar kesuksesan usaha B2C-mu terjamin bisa langgeng. Apabila semuanya terjawab dengan mantap dan sesuai dengan tujuan ekspansi bisnis, tinggal ketok palu saja deh!

Seperti FUKUMI, jangan takut untuk melebarkan sayap ketika ada demand.

Seperti TaniHub, beranilah untuk menajamkan lini bisnis saat potensi sangatlah kurang.

Tapi ingat, jangan gegabah.

Semua harus dilakukan dengan tujuan bisnis dan alasan yang masuk akal ya.

Back To List Blog