Data Science & Analytics: Si Paling Otak Kiri di Dunia Branding

Data Science & Analytics: Si Paling Otak Kiri di Dunia Branding

Posted by Fullstop Indonesia on 24 August 2022

Siapa bilang branding dan marketing cuma butuh kreativitas dan komunikasi?

Walaupun memang keduanya penting, ada satu aspek lagi yang sering banget dilupakan dalam upaya branding strategy dan social media activation. Yap, sesuai judul artikel kita hari ini, aspek tersebut adalah data science dan analytics.

Kedua kata ini serupa tapi tak sama. Dilansir dari Warta Ekonomi, “Data Science” adalah merupakan gabungan dari berbagai bidang, seperti statistik, metode ilmiah, kecerdasan buatan (AI), dan analisis data, untuk mengekstrak nilai dari data (Wibowo, 2021). Untuk memberikan ilustrasi tentang apa yang dilakukan oleh Data Scientist, contohnya begini. Tiap hari, tiap jam, tiap detik, selalu ada saja aktivitas di Instagram yang dilakukan oleh penggunanya. Instagram merekam dan menyimpan data ini. Tanpa adanya data science, jejak aktivitas ini akan berakhir dalam sebuah rekap begitu saja tanpa membawa informasi baru. Namun, dengan adanya data science, data tersebut dapat diekstrak informasinya untuk diolah, memahami perilaku aktivitas yang triliunan jumlahnya, dan mengaplikasikannya pada machine-learning. Sebagai imbasnya, data science mampu membuat prediksi berdasarkan probabilitas apa yang akan terjadi berikutnya.

data science

Selain data science, ada istilah lain yang kita kenal dengan sebutan “Data Analytics”. Bukan untuk membuat prediksi, “Data Analytics” bertugas untuk menganalisa serangkaian data untuk membentuk suatu kesimpulan. Data Analyst akan memvisualisasikan data tersebut dan memberikan insight.

Sampai sini, paham kan perbedaannya?

Jadi, data science mengolah data-data yang ada untuk merumuskan prediksi, sedangkan data analytics mengambil insight dari beragam sumber data.

Mungkin kamu bertanya-tanya.

“Ini kan… otak kiri banget? Mana bisa masuk ke dunia yang penuh dengan right-brained people?”

Well, jangan salah. Supaya efektivitas branding strategy dan social media activation maksimal, justru dibutuhkan keahlian “matematika” pengolahan data ini. Sebenarnya sadar atau tidak sadar, semua yang bekerja di industri kreatif sudah melakukan analisa customer behaviour kok! Misalnya, dalam membuat social media activation plan, Content Planner akan memikirkan konten-konten seperti apakah yang disukai oleh target marketnya. Advertising Manager juga akan memikirkan momen seperti apakah yang paling bisa menggaet perhatian audience. Designer, photographer, video creator… semuanya demikian – selalu memberikan kualitas yang paling sesuai dengan brand dan attractive pastinya. Nah, tapi tentu saja bila skalanya besar dan dibutuhkan keahlian analisa khusus, memang diperlukan seseorang yang secara spesifik memiliki spesifikasi kemampuan “otak kiri” satu ini.

Buat branding agency, family business owner, dan lain-lain yang ingin mengoptimalkan brand activation dan marketing strategy bisnis, yuk simak 5 penggunaan data science dan data analytics dalam branding dan marketing di bawah ini!

  1. Menganalisa pasar baru

Dengan mengkombinasikan hasil dari machine learning, traditional software, dan riset tradisional (survey, interview, focus group, dan lain-lain), brand pun bisa merumuskan pertanyaan seperti:

  1. Siapa yang kemungkinan besar akan menjadi customer bisnismu?
  2. Apakah ada produk alternatif lain?
  3. Produk baru apa yang diinginkan oleh pasar tersebut?

Dari situ, branding strategy yang paling tepat bisa ditemukan karena data analytics menganalisa informasi (pattern dari waktu lampau) dan membantu memberikan jawaban seperti:

  1. Walaupun ada banyak brand-brand baru bermunculan, hanya brand Korean BBQ yang memiliki karakteristik A, B, dan C yang paling bisa bertahan.
  2. Top sales Korean BBQ terjadi ketika ada peristiwa seperti Z.
  3. Karakteristik yang diinginkan oleh pasar umur 22-29 adalah seperti ini, sedangkan pasar umur 30-35 adalah demikian.

Dengan adanya riset yang komprehensif, bisnis pun memiliki pondasi yang kuat dalam merumuskan branding dan marketing strategy sebelum memasuki pasar yang kurang familiar sebelumnya.

  1. Menganalisa consumer behaviour

Tujuannya? Ya untuk memahami isi hati audience. Pola belanja mereka. Ketertarikan mereka. Orang yang membeli produk apakah yang paling mungkin membeli produk sejenis lainnya. Dan lain-lain.

Apalagi di kala suat krisis seperti pandemi COVID-19. Consumer behaviour pasti berubah sehingga brand harus bisa mengantisipasi hal itu supaya tetap bertahan. Contohnya, data science mengungkapkan bahwa ketika dilanda krisis, mayoritas konsumen akan meninggalkan brand yang dianggap “tidak terlalu diperlukan” (Matthews, 2020). Data analytics juga memberikan informasi pada brand bagaimana customer akan lebih “hemat” setelah resesi ekonomi. Dari situ, data science memprediksi kecenderungan pembelian dan terungkaplah bahwa di kala ada musibah, brand yang memberikan value seperti “Tahan Lama” dan “Multifungsi”-lah yang bisa menggaet ketertarikan audience.

  1. Menentukan branding strategy

Dari adanya informasi berbobot perihal situasi pasar dan consumer behaviour, maka sebuah bisnis bisa merumuskan branding strategy yang paling sesuai. Ada satu data science framework yang bisa menginterpretasikan customer value sebagai pondasi branding strategy bisnismu (Fisher & Mittal, n.d). Framework ini disebut dengan CUBES – Customer-Based-Execution and Strategy.

Menentukan branding strategy

Mari kita ilustrasikan CUBES model ini dengan sebuah contoh.

Sebuah bisnis keluarga bernama Fortune 500 bergerak di bidang manufaktur mesin untuk pabrik industri. Fortune 500 mengalami penurunan penjualan dan menyimpulkan bahwa brand mereka kurang giat dalam mempromosikan produk-produknya

Cubes Branding Strategy

Tapi ternyata, setelah dilakukan survey, penyebabnya adalah masalah teknis dan rendahnya brand equity (nilai brand dibandingkan dengan kompetitor). Mengetahui hal ini,  Fortune 500 langsung mengerahkan strategi branding yang bisa menghilangkan kedua masalah tersebut. Beberapa brand activation yang dilakukan oleh Fortune 500 adalah menunjukkan nilai tambah produk, meng-highlight inovasi-inovasi baru, dan menonjolkan kualitas produknya. Alhasil, penjualan berhasil naik sebesar $200 million – hampir Rp 3 Trilliun!

Bagaimana?

Data science dan data analytics penting kan untuk branding strategy?

  1. Menentukan arah social media activation

Kalau bisa menentukan branding strategy, pastinya bakal bermanfaat juga buat social media activation.

Jackson (2019) memberikan beberapa contoh real-life pengaplikasian data science dan analytics dalam social media marketing. Surowiecki adalah seorang managing partner di sebuah agensi. Salah satu client-nya adalah bisnis keluarga di bidang culinary service. Mereka rutin membuat konten resep makanan menggunakan 1-2 produk dari brand bisnis keluarga tersebut. Usut punya usut, ada banyak sekali followers yang mem-print konten resep mereka. Dan fakta yang mengejutkan adalah, mereka melakukan printing menggunakan printer kantor di kisaran jam 4-5 alias jam pulang kantor. Didukung dengan adanya riset tambahan, mereka menemukan bahwa followers mem-print konten resep untuk dijadikan shopping list ketika mereka belanja bahan masakan sepulangnya dari kantor.

Memanfaatkan insight tersebut, maka tim Surowiecki sebagai advertising agency aktif menjalankan iklan produk dan konten resep di jam 4-5, di periode yang followers paling aktif dan ramai lalu lintasnya di media sosial brand. Tidak sampai situ saja, Surowiecki yang juga brand consultant dari bisnis keluarga tersebut menyarankan untuk membuat sebuah mobile app. Aplikasi online ini diisi dengan konten resep yang disertai dengan online shopping list. Jadi, followers setia brand tersebut nggak perlu repot-repot lagi untuk mem-print resep karena kini mereka bisa merujuk pada mobile app brand sebagai grocery shopping list-nya.

  1. Memprediksi trend

Nah, ini nih yang rasanya paling diharapkan oleh semua family business owner. Bagaimana kita bisa memprediksi trend supaya bisa “one step ahead of everyone” dan jadi yang paling up-to-date.

Matthews (2020) menulis tentang sebuah riset yang dilakukan oleh Food Marketing Institute tentang kecenderungan belanja orang-orang setelah bencana angin topan beberapa tahun yang lalu. Data tersebut menunjukkan bahwa orang-orang cenderung untuk membeli barang-barang esensial seperti makanan instan ketika terjadi krisis. Tapi, studi juga menemukan bahwa kian hari compulsive buying semakin meningkat bahkan ketika sedang dilanda masalah. Maka dari itu, ketika pandemi COVID-19 melanda, bisnis yang mengetahui informasi ini dan mengambil marketing strategy yang tepat, bisa tetap relevan di mata audience.

Contohnya adalah produk kecantikan.

Apakah produk kecantikan termasuk esensial? Jelas tidak.

Tapi, penjualan produk kecantikan melejit di tengah-tengah pandemi. Di seluruh dunia.

Mengalami penurunan pesat di bulan-bulan pertama COVID-19, brand kosmetik mau tidak mau harus mengkaji ulang bisnis mereka. Brand kosmetik mau tidak mau menyediakan barang esensial, yaitu hand sanitiser (Gerstell et al, 2020). Tidak sampai situ saja, beberapa brand pun dengan cermat mengeluarkan lini produk skincare. Kok bisa? Karena brand memprediksi adanya compulsive buying dan menganalisa naiknya Korean wave dari Netflix dan streaming lainnya. Maka dari itu, muncullah trend maraknya produk skincare, hair-care, dan bath-and-body-care di tengah-tengah pandemi. Trend ini dapat terjadi karena adanya data science dan data analytics yang mempelajari consumer behaviour dan situasi market. Alhasil, business owner yang peka dapat membuat prediksi kemana mereka harus membawa bisnis tersebut – alias menciptakan trend.

Trend tidak melulu soal meluncurkan produk yang belum pernah ada kok.

Bisa dalam bentuk ambassadorship seperti Mie Sedaap x Choi Siwon,

bisa dalam bentuk kolaborasi aneh seperti Dear Me Beauty x KFC,

dan lain sebagainya.

Ada banyak sekali brand activation yang bisa dilakukan bila kita cermat menganalisa hasil informasi dari data science dan analytics.

Nah, itulah beberapa manfaat dari data science dan data analytics yang harus kamu pergunakan untuk mengoptimalkan branding dan social media marketing strategy. Sebuah bisnis tanpa adanya analisa data ibarat prajurit masuk ke medan perang tanpa senjata. Tidak akan bisa survive lama!

Khususnya buat branding agency dan family business owner nih, harus banget bermain dengan pengolahan data dan informasi supaya bisa mendapatkan insight yang akurat. Minimal dengan memerhatikan social media insight atau ads report supaya lebih memahami isi hati target audience brand-mu. Karena nggak mungkin kita hanya mengandalkan apa yang kita tahu, kan? It’s a big world out there. Apa yang kita lihat hanyalah satu perspektif saja. Diperlukan data science dan analytics agar pemahaman kita lebih luas untuk memutuskan hal yang tepat.

“Without big data analytics, companies are blind and deaf, wandering out onto the web like deer on a freeway.” – Geoffrey Moore, American Management Consultant and Author of Crossing the Chasm.

Back To List Blog