3 Mitos Umum Mengenai Branding
Istilah ‘branding’ tentu sudah tidak asing lagi. Tapi sebenarnya apa sih branding? Apakah brands sendiri paham apa itu sebenarnya branding? Untuk memahami cara kerja branding sebagai bagian dari sebuah brand dan kegiatan marketing-nya, kita perlu terlebih dahulu memahami esensi branding. Kenyataannya, dunia branding Indonesia masih dipenuhi oleh mereka yang memiliki persepsi yang salah atau kurang tepat mengenai branding.
Mitos: “Branding is all about the company logo”
Fakta: A brand is much more than a logo! Tentu saja, branding termasuk juga kartu nama, desain company profile yang menarik dan kop surat yang cantik. Apa hanya itu?
Beberapa tahun terakhir, perhatian dunia branding Indonesia bisa dibilang sangat teralihkan. Desain modern yang minimalis maupun dinamis menjadi sorotan dan sempat menjadikan brand owners ‘salah fokus’. Sesungguhnya branding adalah lebih luas. Branding adalah bentuk komunikasi dari sebuah brand, bagaimana sebuah bisnis/ perusahaan berkomunikasi dengan konsumen dengan mengenalkan nilai-nilai yang dipercaya dan persona identitasnya.
Mitos: "Tujuan branding adalah sales"
Fakta: Ini juga merupakan kesalahpahaman yang kerap membuat dunia branding Indonesia bingung. Kalau bukan sales apa lagi tujuannya? Tentu sales adalah target yang realistis. Namun, jika kita menjadikan sales sebagai tujuan utama, branding kita tidak akan tepat sasaran. Branding harus bertujuan menegaskan posisi brand di masyarakat, menciptakan hubungan dengan konsumen, menjadi bagian yang diingat dari sebuah komunitas. Branding adalah proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk menciptakan sebuah brand yang long-lasting, sebuah merk yang dekat dan melekat dengan konsumen (Top-of-mind Awareness).
Sales adalah salah satu dampak dari branding. Tapi sales bukanlah tujuan utama branding.
Mitos: "Hanya barang dan jasa yang bisa di-branding"
Fakta: Kenyataannya, apapun dan siapapun bisa menjadi brand dan di-branding.
Sebuah kota bisa di-branding. Kota Jogja memiliki citra yang ramah dan dekat dengan budaya. Citra ini ada karena branding yang terus menerus dilakukan oleh penduduk dan pemkot setempat selama berpuluh-puluh tahun dengan atau tanpa sadar. Seorang sosok bisa di-branding. Pak Ahok adalah sosok yang tegas dan jujur, sedangkan Pak Jokowi memiliki branding yang lebih kalem dan merakyat. Image ini tentu tidak tiba-tiba terbentuk, ada proses branding yang sudah dan sedang terjadi.
Pahami branding. Pahami brand Anda. Come prepared. Jadilah top-of-mind brands.