Your Guide to Being an Ethical Brand or Do You Have What It Takes to Be an Ethical Brand?

Your Guide to Being an Ethical Brand or Do You Have What It Takes to Be an Ethical Brand?

Posted by Fullstop Indonesia on 25 June 2022

Adakah brand yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata “ethical brand”?

Simpan dulu jawabannya.

Sebelum kita membedah beberapa contoh brand, corporation, atau family business yang ethical, mari kita bedah apa arti “ethical brand”.

Ethical Brand

Ethical” dalam bahasa Indonesia adalah “etis” dan/atau “beretika”, yang diambil dari kata benda “etika”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berikut arti kata “etis” dan “etika”.

etis /étis/ a 1 berhubungan (sesuai) dengan etika; 2 sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara umum

etika /eti·ka/ /étika/ n ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

Nah, dari kedua deskripsi di atas, sekarang kita tahu bahwa untuk menjadi sebuah ethical brand, maka kita harus bertindak sesuai dengan asas perilaku yang diterima dengan baik oleh umum.  Menurut Marion (2022), sebuah organisasi dapat dikategorikan sebagai ethical brand apabila mereka menunjukkan kepedulian - peduli pada lingkungan, komunitas, makhluk hidup, semuanya yang memiliki tempat di dunia ini. Tak hanya peduli saja, brand tersebut bertindak etis di seluruh aspek kegiatannya, mulai dari produksi hingga penjualan.

Misalnya, dalam konteks perusahaan kosmetik, bila produk yang dijual masih melakukan uji coba pada hewan, maka bisa dipastikan perusahaan tersebut tidak akan dikenal sebagai sebuah brand yang etis atau beretika.

Tidak hanya segi produksi saja yang harus menerapkan prinsip-prinsip etika yang baik. Di segi pemasaran pun, brand harus memastikan bahwa semua activation juga mengikuti etika yang ada (Yarmantho, 2020). Sebagai contoh, Brand A mempromosikan sebuah produk dengan kalimat “Beli Sekarang, Hanya Tersisa 1”. Bila kenyataannya barang tersebut tidak tersisa 1, maka ada kebohongan pada marketing activation tersebut. Apakah berbohong merupakan perbuatan yang beretika? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu, marketing team atau branding agency pun harus lebih waspada dalam mengkomunikasikan strategi pemasaran pada brand yang menjunjung prinsip beretika baik.

Contoh brand yang etis atau beretika

Kembali ke pertanyaan di awal. Adakah ethical brand yang terlintas di benakmu?

Sebenarnya, ada banyak ethical brand sekarang ini, khususnya di lingkup Non-Profit Organisation (NPO). Salah satu contohnya adalah Ecosia.

Ecosia adalah sebuah organisasi yang menyediakan layanan seperti Google, yaitu search engine, yang mana 45 kali pencarian adalah ekuivalen menanam 1 pohon (The Green Stars Project, 2019). Dari segi produksi, layanan yang diberikan tidak melanggar kode etika. Bahkan, tidak ada biaya langganan ataupun targeted ads bagi penggunanya. Iklan hanya akan muncul ketika pengguna mengaktifkan cookies, dengan manfaat tambahan yaitu pengguna akan memiliki kontribusi penanaman pohon lebih besar daripada pengguna biasa (yang tidak mengaktifkan cookies). Server yang digunakan pun menggunakan tenaga surya — jauh lebih ramah lingkungan dan hemat listrik!

Dari segi brand activation, Ecosia melakukan kampanye yang jujur dan apa adanya. Bagaimana cara kita tahu marketing strategy mereka beretika? Well, pengguna Ecosia bisa melihat langsung jumlah pencarian yang telah dilakukan dan ekuivalen jumlah pohon yang sudah ditanam! Ada laporan lengkapnya juga yang dapat diunduh dari laman Ecosia.

Dari sisi operasional pun, Ecosia memastikan bahwa 80% pemasukan (setelah biaya operasional) ditujukan untuk upaya penanaman pohon. Tidak ada strategi finansial yang dilakukan untuk menghindari pajak juga.

Bisakah family business atau UMKM menjadi brand yang beretika?

Jawabannya, tentu saja bisa!

Ada banyak sekali peluang untuk perusahaan raksasa, family business, bahkan UMKM untuk menciptakan atau menyediakan produk atau jasa yang ethical. Sebagai contoh, ada brand lokal asli Indonesia “Sejauh Mata Memandang” yang bergerak di bidang sustainable fashion. Di Surabaya sendiri, ada “Halo Ijo” yang menyediakan layanan antar eco-friendly. Dan masih banyak lagi brand di luar NPO yang produk atau jasanya dapat terbilang “ethical”.

Hal ini dikarenakan semakin hangatnya topik climate crisis, sustainability, dan humanity sekarang ini. Dampak dari isu-isu tersebut adalah perubahan interest di antara konsumen global. Semua orang kini memiliki awareness dan keinginan untuk berkontribusi yang tinggi. Maka dari itu, konsumen kian berpaling pada brand-brand baru yang dapat menanggulangi masalah yang ada. Oleh sebab itu, siapa pun yang membawa solusi — atau paling tidak, dampak positif — dapat memiliki kesempatan untuk menjadi ethical brand yang signifikan.

Tapi ingat, kita tidak boleh memanfaatkan peluang ini untuk meraup profit sebesar-besarnya.

Big NO.

Jangan sampai kita terlalu fokus pada keinginan untuk “cuan” sampai-sampai kita menggiring opini publik yang salah terhadap brand kita — alias misleading.

Jika kamu ingin membangun UMKM yang menjual produk ramah lingkungan, maka jelaskan apa adanya bagaimana produk tersebut diolah dan bagaimana proses pembuangannya berdampak pada lingkungan. Tunjukkan juga bahwa sisi operasional pun menganut prinsip eco-friendly.

Jika family business-mu menjual produk yang mana hasil penjualan akan didonasikan untuk sebuah humanity cause, maka jelaskan secara transparan yayasan manakah yang akan menerima donasi tersebut. Tunjukkan berapa persentase pembelian produk yang akan masuk untuk donasi serta bukti bahwa donasi telah diterima. Branding strategy pun jangan sampai menggambarkan seakan-akan 100% pemasukan akan didonasikan bila bukan begitu semestinya.

Intinya, untuk dipercaya sebagai brand yang beretika, kita harus siap jujur dan terbuka.

Memang, agak susah menjadi ethical brand yang terpercaya di mata publik apabila struktur organisasinya adalah For-Profit, bukan NPO. Namun, tidak masalah. Menjadi brand yang beretika bukanlah sebuah branding strategy, melainkan sebuah prinsip. Dengan menjadikan etika baik sebagai tonggak kehidupan bisnis-mu, maka pada dasarnya, kamu sudah memiliki ethical brand.

Menjadi brand yang baik mulai sekarang

Kami mau mengajak kamu, para family business owner, pengusaha UMKM, dan pembaca sekalian, untuk mulai membangun brand yang ethical. Tidak perlu jauh-jauh membuat inovasi produk baru, deh. Cukup tanyakan 5 pertanyaan di bawah ini.

Apakah produk yang aku jual merugikan lingkungan dan semua makhluk di dalamnya?

Apakah brand activation yang aku lakukan misleading?

Apakah marketing strategy yang aku lakukan menipu orang banyak?

Apakah bisnisku memperburuk masalah lingkungan?

Apakah ada kecurangan di dalam keuangan bisnisku?

Bila ada jawaban “iya” pada kelima pertanyaan di atas, sekarang adalah saat yang tepat untuk berubah. Masih ada kesempatan untuk bisnismu menjadi ethical brand kok. Untuk mencapai hal itu, tentunya kamu harus teguh supaya bisa selalu konsisten menerapkan prinsip beretika baik dalam kehidupan berbisnis.

Apakah kamu siap?

 

 

Note: This website is in no way sponsored by or affiliated with any brand mentioned in the article.

Back To List Blog