Terkena Skandal Bukanlah Akhir Dunia

Terkena Skandal Bukanlah Akhir Dunia

Posted by Fullstop Indonesia on 04 June 2022

Kebayang nggak sih, gimana paniknya tim Public Relations, Branding Agency, dan sejenisnya, kalau brand yang ditangani ini tertimpa skandal?

Dijamin bakal pusing sampai lembur berhari-hari memikirkan bagaimana cara mengembalikkan citra baik brand tersebut. Proses ini memakan waktu yang lama juga karena tidak mudah mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mana persepsi terhadap brand tersebut sudah ternodai. Tidak menutup kemungkinan, masyarakat tidak akan kembali menggunakan produk atau jasa yang diberikan brand itu lagi.

Namun, dengan branding strategy yang tepat, maka perlahan-lahan, kepercayaan customer terhadap brand-mu bisa pulih kembali. Ilustrasi serta branding strategy untuk penanggulangan skandal akan dijelaskan dengan menggunakan 2 contoh brand yang pernah terkena skandal, namun berhasil bangkit kembali. Yuk simak!

Kasus meledaknya Samsung Note 7

Siapa yang masih ingat kasus handphone meledak ini?

Di akhir tahun 2016 hingga awal 2017, kasus ini ramai sekali dibicarakan karena ada begitu banyak pengguna smartphone asal Korea Selatan ini. Bagaimana tidak, di Amerika Serikat sendiri didapati hampir 100 kasus dalam kurun waktu 1 bulan sejak ditemukannya kasus pertama (Yusuf, 2016). Korban pertamanya ialah seorang pria dari Florida yang melaporkan kasus dan menggugat Samsung Electronics atas kejadian ini (Panji, 2016). Ponsel yang disimpan di saku celananya tiba-tiba meledak dan terbakar di celana sehingga membuat kaki kanannya mengalami luka bakar parah. Ibu jari tangan kirinya pun juga terbakar ketika ia mencoba untuk memadamkan api di celana. Akibat meningkatnya kasus edisi Note 7 yang meledak, maka dilakukanlah penarikan secara massal yang mengakibatkan kerugian sebesar 70 triliun rupiah (BBC News Indonesia, 2016).

Di tengah hiruk-pikuk kasus yang mendunia ini, Samsung bergerak cepat untuk memprioritaskan keamanan produk dan penggunanya, walaupun harus merugi triliunan sekalipun. Samsung menarik semua unit ponselnya dari pasar dan menyatakan bahwa jutaan unit Note 7 tidak bakal diperbaiki lagi, namun langsung masuk daur ulang (Yusuf, 2016). Beberapa bulan setelahnya, raksasa elektronik negeri Ginseng pun memberikan pernyataan maaf di hadapan pers beserta penjelasan rinci penyebab meledaknya Note 7.

"Sebagai langkah pertama untuk mendapatkan kembali kepercayaan Anda, penting untuk memberikan pemahaman mengenai masalah ini (mudah terbakarnya Galaxy Note 7)," ujar DJ Koh, Samsung Electronics Mobile Chief (Nistanto, 2017).

Inilah poin terpenting brand activation pada upaya pemulihan nama baik sebuah brand, yaitu menjadi sosok yang transparan, jujur dan apa adanya, serta membuat audience merasa dan tahu bahwa mereka adalah prioritas brand tersebut. Reza Haryo, Senior Market Analyst Client Devices IDC Indonesia menyetujui tindakan penanganan Samsung yang mementingkan keamanan pengguna daripada kerugian finansial (Prihadi, 2016). Menurut Patrick Moorhead dari Moor Insights & Strategy, pada dasarnya konsumen sangat pemaaf terutama apabila brand bisa sangat transparan dalam menyelidiki skandal tersebut.

Terbukti, Samsung pun sukses meluncurkan Samsung S8 dan Samsung Galaxy Note 8 pada tahun berikutnya. Samsung membeberkan fakta bahwa mereka mewajibkan lebih banyak inspeksi untuk ponsel-ponsel baru dan memberikan perlindungan fisik untuk baterainya hingga memakan waktu yang lebih banyak untuk mengisi baterai dari yang biasanya (VOA Indonesia, 2017). Tim Public Relations, Marketing, ataupun Branding Agency juga bergerak bersama-sama dengan tim produksi untuk memberikan product knowledge selengkap mungkin. Oleh sebab itu, customer pun bisa kembali mempercayai keamanan produk Samsung melalui social media management yang dapat memberi informasi penting dengan singkat dan jelas. Maka tak salah bila Samsung bisa bangkit dari skandal kurang dari 1 tahun.

Ancaman Boikot Dear Me Beauty

Tahukah kamu bahwa brand lokal asal Indonesia ini pernah mendapat ancaman boikot dari warganet pada tahun 2020? Saat itu, Dear Me Beauty sedang mempromosikan lini produk terbaru mereka yaitu Perfect Conceal Serum Skin Corrector di TikTok dan Instagram. Ada enam pilihan warna tersedia yang diperuntukkan bagi kulit cerah, kulit medium dan medium-plus (Hestianingsih, 2020).

Satu warganet memberikan komentar di TikTok, "Mon maap tpi kenapa ga ad yang darker shades ya.”

Dear Me Beauty kemudian merespons, "Biasa yg komentar begini kulitnya juga pakai bisa pakai warna yg tersedia..."

Sontak, jawaban admin Dear Me Beauty itu memicu amarah warganet karena dianggap arogan dan tidak sensitif, mengingat kulit perempuan di Indonesia dominan sawo matang daripada cerah atau medium. Keramaian ini pun merambah ke Twitter. Sampai-sampai, influencer dan beauty blogger @livjunkie juga ikut menyuarakan kritiknya. Beberapa hari kemudian, pihak Dear Me Beauty menyampaikan permohonan maafnya di laman Instagram. Mereka memberitahu bahwa tindakan sanksi telah dilakukan serta bahwa mereka akan terus menjunjung tinggi keberagaman dan inklusivitas.

Dari kasus ini, kita bisa belajar bahwa skandal bisa bermula dari hal yang paling sepele seperti membalas komentar atau DM. Satu kesalahan dalam berkomunikasi bisa berakibat sangat fatal. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga.

Bagaimana cara Dear Me Beauty meyakinkan customer yang mem-’boikot’ untuk menggunakan produknya kembali?

Well, untungnya, konsumen sangat pemaaf.

Selain permohonan maaf di media sosial, Dear Me Beauty menggerakkan branding strategy dan social media management yang mana dapat membuktikan bahwa brand mereka inklusif. Sejak tertimpa skandal sampai 2 bulan berikutnya, Dear Me Beauty menampilkan foto-foto model berkulit gelap untuk promosi lini produk mereka yang lain. Setelah itu, mulai September 2020 hingga kini, Dear Me Beauty selalu memakai model-model yang dapat merepresentasikan berbagai warna kulit. Perlahan-lahan, mereka dapat mengembalikan kepercayaan customer dengan branding strategy dan social media management yang inklusif secara konsisten.

Menjaga Image Brand

Begitulah kisah dua brand yang pernah tertimpa skandal, namun berhasil bangkit kembali.

Dari kedua kasus di atas, pelajaran yang dapat kita petik adalah:

  1. Bila terdapat kasus yang berpotensi menjelekkan nama brand, alangkah baiknya bila kita transparan terhadap masalah tersebut dan tak lupa untuk meminta maaf pada semua pihak yang telah dirugikan
  2. Customer loyalty and trust harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, lebih baik untuk mengutamakan segala macam upaya untuk mengembalikan kepercayaan mereka daripada mementingkan segi finansial
  3. Strategi branding (setelah terjadinya kasus) harus dipersiapkan dengan matang bak membangun usaha dari nol agar customer benar-benar paham dan merasakan perubahan yang telah dilakukan

Memang penanggulangan brand image sangatlah penting.

Namun, yang harus menjadi fokus kita adalah memastikan agar tidak terjadi skandal sedemikian rupa — baik dari tim produksi, marketing, public relations, keuangan, branding agency, customer service, siapa pun itu.

Ada dua pertanyaan khusus buat kalian para anak ahensi, nih.

Pernahkah brand yang kamu tangani tertimpa skandal?

Kalau pernah, bagaimana cara branding agency-mu menangani kasus itu?

Back To List Blog