Beda Model Bisnis, Beda Branding Strategy: Menilik 3 Perbedaan Strategi Branding B2B dan B2C
Pernah dengar istilah B2B dan B2C?
Yap, kedua istilah ini adalah model bisnis e-commerce. Sebenarnya model bisnis e-commerce ada 5, tapi di artikel kali ini, kita bahas 2 dulu aja ya!
B2B adalah singkatan dari Business-to-Business. Model bisnis satu ini melibatkan dua entiti bisnis, yang mana satu adalah penjual dan satu adalah pembeli. Dalam artian, transaksi terjadi antara kedua bisnis. Beberapa contoh usaha yang bergerak di bidang B2B adalah supplier kertas, supplier beras, pembuat mesin, dan masih banyak lagi. Usaha reseller dan franchise pun termasuk B2B ya! Nah, kalau B2C adalah singkatan dari Business-to-Customer. Sesuai namanya, model bisnis ini memfokuskan pada usaha antara sebuah bisnis dengan end-customer atau konsumen.
Karena model bisnisnya sendiri sudah berbeda, tentu branding dan marketing strategy-nya pun berbeda. Yuk simak 3 perbedaan branding strategy B2B dan B2C!
Pahami audiens
B2B = target pasarnya adalah badan usaha.
B2C = target pasarnya adalah orang-orang biasa.
Se-simple itu perbedaannya, tapi bisa salah fatal kalau sampai branding strategy dan digital activation yang kamu rancang tidak mengakomodasi perbedaan audience ini.
Siapapun yang terlibat dalam sebuah badan usaha, alias para pemain aktif dalam industri tersebut, tentunya memiliki pengetahuan yang luas dan dalam terhadap produk atau jasa yang kamu tawarkan. Entiti bisnis alias calon client-mu mencari penjual yang bisa memberikan mereka kualitas tertinggi dengan harga yang pas. Lain halnya dengan model bisnis B2C yang mana orang-orang biasa tidak terlalu mengerti jargon-jargon teknis. Customer bisnis B2C lebih memperdulikan harga dan benefit customer experience.
Apabila dilihat dari segi kuantitas atau jumlah, jelas pasar B2B lebih sedikit. Ibarat perusahaan beras porang FUKUMI deh. Sebagai penghasil umbi porang yang adalah bahan baku beras porang, audience bisnis ini hanyalah sejumlah pabrik beras porang. Namun, ketika perusahaan bernama PT. Asia Prima Konjac ini merambah ke dunia B2C dengan brand FUKUMI, jumlah target market mereka meluas ke semua kalangan masyarakat yang makan nasi. Peluang penjualan B2C sangatlah luas dan tidak terbatas – siapa saja bisa menjadi potential customer dari bisnis tersebut. Apalagi, masyarakat di Indonesia tergolong penduduk yang konsumtif. Jadi, ya begitu keadaannya. Kelompok produsen selalu lebih kecil dibandingkan dengan konsumen. Itulah kenapa B2B selalu memiliki potensi penjualan yang lebih kecil tapi lebih spesifik. Sedangkan B2C memiliki potensi sales yang luas tapi belum tentu semuanya akan menjadi customer bisnismu.
Buying power juga tentunya berbeda. Entitas bisnis sebagai customer tentu bisa menandatangani kontrak jutaan hingga milyaran untuk mengambil produk atau jasa B2B. Kalau audiens B2C? Jelas tidak mungkin. Per orangnya melakukan transaksi dalam jumlah yang jauh lebih sedikit daripada B2B.
Nah, dengan memahami bahwa target audience untuk kedua model bisnis ini berbeda, maka kebutuhan branding strategy dan social media activation yang akan kita bahas berikutnya akan terasa jauh lebih mudah dipahami.
Penggunaan bahasa
Now that you know who your audiences are and what they like, kita bisa menentukan bahasa seperti apa yang paling cocok untuk mengkomunikasikan brand activation.
Untuk model bisnis B2B, branding strategy dan digital activation menggunakan bahasa-bahasa yang mungkin di telinga orang awam terdengar “rumit”. Penggunaan bahasa marketing untuk B2B harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengedukasi potential customer akan keunggulan produk atau jasa yang kita tawarkan. Kualitas, spek, dan berbagai macam benefit yang bisa mereka dapatkan. Untuk benar-benar menjabarkan keunggulan tersebut, maka dibutuhkan jargon-jargon teknis yang spesifik. Semakin informatif, semakin bagus. Maka dari itu, marketing collateral yang dihasilkan cenderung panjang, penuh isi, dan edukatif. Lihat saja brosur, product knowledge, dan website perusahaan-perusahaan B2B. Wajar saja, karena memang entitas bisnis membutuhkan informasi yang lengkap dan menyeluruh sebelum mengambil keputusan pembelian. Dan, bonus poinnya dengan menggunakan bahasa marketing seperti ini, bisnismu bisa mendapatkan kepercayaan dari entitas bisnis target pasar. Mengapa? Karena kamu menunjukkan bahwa kamu memahami apa yang kamu jual. Kamu membuktikan bahwa bisnismu benar adalah expert di bidang tersebut. Kredibilitas inilah yang dicari oleh potential customer B2B.
Nah, bertolak belakang dengan bahasa marketing yang penuh jargon teknikal, model bisnis B2C harus menggunakan bahasa marketing yang simple, mudah dimengerti, dan yang terpenting, menarik. Desain visual yang menarik, penggunaan bahasa yang membuat brand lebih dekat dengan komunitas, dan konten-konten yang mudah diingat bisa membuat brand B2C lebih dipilih oleh target audience. Dan… karena transaksi tiap customer nominalnya jauh lebih kecil daripada B2B, waktu decision-making pun jadi jauh lebih singkat pula. What does this mean? Itu artinya, kamu tidak bisa buang-buang waktu untuk menjelaskan keunggulan produk atau jasamu. Buatlah konten dengan bahasa yang singkat dan menarik, that’s enough to attract your audience.
Pemilihan platform
Yuk kita diskusi sebentar!
Menurutmu, kalau B2B aktif di media sosial itu penting atau nggak?
(Hint: Nggak ada jawaban benar atau salah ya!)
Media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok telah menjadi bagian besar dari hidup kita hingga terasa aneh rasanya bila ada orang atau entitas yang tidak memasuki ranah ini. Namun, perlu kita pahami apa fungsi dari media sosial itu sendiri bagi business owner. Untuk model bisnis B2C, fungsinya jelas terlihat mata. Media sosial bisa menjaring massa yang banyak, awareness seluas-luasnya, untuk mempromosikan produk retail yang kita tawarkan. Aktif di media sosial membuat brand B2C jadi lebih dekat dengan komunitas sehingga brand bisa diingat oleh target market. Bisnismu juga bisa memaksimalkan social media activation melalui advertisement untuk menjangkau target audiens di luar existing customer. Semua ini adalah bagian dari social media marketing strategy bisnis B2C. Simple, to-the-point, and attractive.
Namun, untuk bisnis B2B, viral di media sosial tidak menjamin kesuksesan dalam hal penjualan. Memang, nama yang viral bisa menjadi added-value bagi target audience-mu ketika mengambil keputusan. Tapi yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana brand B2B membangun kredibilitas dan loyalitas di komunitas atau industri tersebut. Maka dari itu, alih-alih membuat konten media sosial, brand B2B lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat company profile dan portfolio yang trustworthy. Dibangun juga website agar lebih memudahkan entitas bisnis domestik maupun mancanegara ketika ingin mencari tahu lebih lanjut tentang brand tersebut. Selain asset digital, pemain bisnis B2B juga harus gencar aktif di event-event offline. Salah satu contohnya adalah kegiatan Surabaya Printing Expo. Event ini dihadiri oleh supplier-supplier mesin printing beserta potential customer – semua entitas bisnis yang sedang mencari mesin printing. Keikutsertaan sebuah brand B2B dalam aktivitas seperti ini dapat memperluas koneksi. Networking = sales = profit. Benar begitu, bukan?
Lebih gampang yang mana?
Dua-duanya sama-sama susah-susah gampang. Dalam berbisnis, mana ada sih yang semuanya gampang. Pasti ada rintangannya masing-masing. Orang yang terbiasa bekerja di industri B2B pasti bilang model bisnis B2C susah banget karena tidak mudah memprediksi interest dan behaviour target market yang sebegitu luasnya. Sedangkan orang yang terbiasa dengan ritem retail B2C, pasti akan bilang B2B lebih susah karena harus membangun kepercayaan dan networking yang kuat dengan pemain-pemain di industri tersebut.
It all comes down to you.
Se-paham apa kita tentang industri dan market.
Se-cocok apa branding strategy dan digital activation.
Se-optimal apa kita melakukan brand activation.
Kalau semuanya sudah dilakukan dengan tepat, niscaya bisnis apapun itu, mau B2B, B2C, ataupun model-model bisnis lainnya, pasti akan mencapai kesuksesan yang setimpal.